Pahlawan Oputa Yii Koo, Kebanggaan Atau Kekeliruan Sejarah?

Presiden Buton Action Network, USA, Lamadi de Lamato, SE, MBA. (Foto: Ist)

Oleh: Lamadi de Lamato, SE, MBA
Presiden Buton Action Network, USA

Tahun 2013, saya berdiskusi dengan Profesor Susanto Zuhdi. Ahli sejarah Universitas Indonesia ini sangat dikenal dengan disertasinya, "Sejarah Buton Yang Terabaikan Labu Rope, Labu Wana".

Dalam kesempatan bedah bukunya di Kota Jayapura, ia memberi diktat copyan tentang Sultan Himayatuddin. Nama sultan ini berasal dari Sulawesi Tenggara yang ketika itu sedang di usulkan sebagai seorang pahlawan nasional.

Himayatuddin, Lakarambau atau Oputa Yii Koo adalah nama dari seorang yang sama. Dari copyan itu, saya dapat informasi tambahan bila Sultan Himayatuddin menjadi pahlawan sudah di usulkan sejak lama tapi selalu ditolak oleh tim penilai dari Jakarta.

Bahkan terjadi beberapa kali pergantian tim lokal untuk tujuan menggolkan Oputa Yii Koo jadi pahlawan. Sebagai ahli sejarah, Profesor Susanto Zuhdi pun akhirnya diminta masuk dalam tim yang baru.

Keberadaan Profesor ini dalam tim sangat signifikan. Jelang Agustus tahun 2019, saya dapat WhatsApp dengan bunyi, "Detik2 Oputa Yii Koo ditetapkan sbg pahlawan nasional dari Sultra oleh Presiden Jokowi".

Pesan WhatsApp itu berasal dari Profesor Susanto Zuhdi. Sebuah pesan yang sudah berselang 7 tahun sejak diktat tentang Oputa Yii Koo ia berikan ketika jumpa di Papua.

Bagi orang Sultra ini sebuah kebanggaan. Maklum satu-satunya provinsi yang belum memiliki pahlawan dari sekian daerah di Indonesia adalah Sulawesi Tenggara.

Oputa Yii Koo Diantara Sultan-Sultan Buton Lain

Secara singkat, Sultan Himayatuddin adalah tokoh yang menentang VOC atau Belanda. Dalam melawan, sultan berbadan besar dan tegak ini, melakukan perang gerilya. Upayanya terekam dalam sebuah pertempuran yang ia lakukan bersama pasukannya.

Atas dasar alasan perlawanan itu, Sultan Oputa Yii Koo yang sudah di usulkan selama 11 tahun sebagai pahlawan baru diterima pemerintah tahun 2019. Jokowi sebagai Presiden pun mengumumkan kepahlawanan pejuang asal Sultra itu pada perayaan 17 Agustus 2019.

Tak ada yang salah dengan kepahlawanan itu. Sekedar catatan, Oputa Yii Koo adalah bagian dari sejarah Buton yang panjang. Jauh sebelumnya, para Sultan Buton telah hidup dengan blue print kerjasama yang saling menguntungkan dengan Belanda.

Pilihan para sultan-sultan di awal termasuk langkah cerdas. (Baca teori Sun Tzu tentang menaklukan lawan dengan mengetahui kekuatannya). Dengan beraliansi dengan VOC yang kuat, Buton mampu menjaga wilayahnya dari kerabat-kerabatnya yang ambisius.

Bahkan karena pilihan bersekutu dengan Belanda itulah, Buton mengalami kemajuan yang signifikan dalam berbagai bidang. Tokoh-tokoh seperti Dayanu Ikhsanuddin, Labuke, Mardan Ali dan sebagainya telah membawa peradaban Buton menjadi tentram dari ekspansi Gowa dan Ternate.

Perlawanan Himayatuddin, saya bayangkan tidak lebih dari perlawanan seorang anak terhadap ayahnya. Itupula yang jadi kesepakatan VOC dengan sultan-sultan Buton ketika itu. Bukankah Buton dan VOC membangun kongsi seperti seorang anak dan ayah?

Makanya agak bingung, ketika Himayatuddin melawan Belanda lalu dianggap berbeda oleh para peneliti. Apalagi mereka langsung mengusulkan dan memasukannya sebagai pahlawan nasional dari Sultra yang melawan kompeni Belanda.

Mungkin atas alasan inilah Himayatuddin pun disamakan dengan Diponegoro, Patimura, Hasanuddin dan sebagainya yang telah lama ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Kekeliruan Sejarah Buton

Di antara para sultan-sultan Buton yang hidup, mungkin nama Dayanu Ikhsanuddin yang paling tersohor dalam ingatan kolektif orang Buton. Jejak-jejaknya sebagai pemersatu jazirah Sultra tak bisa dilupakan.

Di Kendari ia dikenal sebagai Lakilaponto yang sangat terkenal dengan perang Haluoleo, di Muna ia

juga punya nama setempat. Sementara di Buton orang-orang mengenalnya dengan Sultan Murhum. Ialah raja terakhir dan sultan pertama dengan karya spektakuler.

Di jamannya Buton mengawinkan sistem demokrasi dan teokrasi. Pemilihan terbuka tapi tetap berperangkat nilai-nilai agama yang konsisten. Sistim ini setelah diteliti ternyata sangat brilian dan modern.

Jika di barat agama dan urusan privat ditentang, maka di Buton tidak seperti itu. Keduanya justru bagai satu bangunan yang saling menguatkan. Makanya era Sultan Murhum adalah masa ke emasan Buton bagi orang Buton yang sangat spesial.

Ketika Oputa Yii Koo sebagai sultan ke 20 dan 23 yang nota bene punya jejak melawan Belanda, maka apakah itu tidak keliru ketika ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional? Pasalnya, ia adalah "sultan junior" yang mewarisi kepemimpinan sultan-sultan sebelumnya.

Kerja keras sultan-sultan terdahulu adalah memilih teman agar Buton terbebas dari ekspansi yang datang dari "angin barat dan timur" yakni Gowa dan Ternate. Buton pun memilih Belanda dan ternyata tepat. Dengan Belanda, Buton digdaya dan brilian.

Sebagai Buton, bangsa kita memegang prinsip jujur. Katakanlah yang sebenarnya tentang fakta sejarah. Jangan demi gengsi dan politik orang Buton disodorkan seorang pahlawan nasional bernama Himayatuddin, Lakarambau atau Oputa Yii Koo.

Peran Sultan Oputa Yii Koo sebagai pahlawan seolah mereduksi sejarah sultan-sultan yang lain. Bahkan semakin membangun kesan selain Himayatuddin, sultan-sultan Buton terdahulu adalah sekutu Belanda.

Sebuah stempel negatif bila Buton adalah negeri penghianat dalam wilayah NKRI. Mari kita renungkan sejarah orang Buton dengan jujur tanpa harus takut.

Bagikan:

ARTIKEL TERKAIT