Surumba.com – DPRD Kabupaten Buton kembali menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama pihak eksekutif, di Kantor DPRD Buton, Selasa (5 Agustus 2025). RDP membahas kelanjutan polemik efisiensi anggaran dalam postur APBD 2025.
Rapat ini dihadiri tiga unsur pimpinan DPRD dan sepuluh anggota dewan. Dari pihak eksekutif hadir Asisten II Setda Buton, Plt Kepala BPKAD, Kabag Hukum, perwakilan Bappeda, serta Inspektorat.
Isu utama dalam rapat kali ini adalah klarifikasi terhadap Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 5 Tahun 2025 tentang perubahan atas Perbup Nomor 37 Tahun 2024 tentang penjabaran APBD Tahun Anggaran 2025, yang mencantumkan frasa “melalui persetujuan DPRD”, padahal secara aturan hal tersebut tidak diperlukan.
Wakil Ketua DPRD Buton, La Madi, membuka rapat dengan menyampaikan kekecewaan lembaganya karena dicatut dalam Perbup tanpa pernah memberikan persetujuan resmi. Ia menilai hal ini telah merusak citra DPRD di hadapan publik.
“Seolah-olah kita setuju padahal tidak pernah diberikan dokumen efisiensi,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika Perbup disampaikan sejak awal kepada pimpinan DPRD, persoalan bisa selesai lebih cepat. Namun, dokumen tersebut justru hanya sampai di tingkat sekretariat DPRD.
Menanggapi hal tersebut, Asisten II Setda Buton, Nanang Lakaungge, menyampaikan permohonan maaf dan mengakui adanya kekeliruan dalam penulisan frasa tersebut. Ia memastikan bahwa Perbup akan segera direvisi untuk menghindari kesalahpahaman lebih lanjut.
“Semoga hari ini bisa menjadi titik akhir polemik dan kita dapat menemukan solusi terbaik untuk masyarakat,” kata Nanang.
Perwakilan Bappeda, La Ode Darwin Dimi, menambahkan bahwa telaah efisiensi yang menjadi dasar Perbup hanya bersifat internal, bukan dokumen wajib disampaikan ke DPRD.
Rincian Efisiensi dan Alokasi Anggaran
Plt Kepala BPKAD, LM Tito Yasrimal, menjelaskan bahwa efisiensi sebesar Rp23,5 miliar dilakukan untuk menyesuaikan anggaran dengan arahan pemerintah pusat. Anggaran tersebut dialokasikan ke 15 OPD, antara lain Dinas PU Rp4,5 miliar, Dinas Perhubungan Rp2,5 miliar, Dinas Kominfo Rp2 miliar, Dinas Pendidikan dan Kesehatan Rp10 miliar (untuk pekerjaan tahun lalu yang belum selesai)
Tito menyebutkan bahwa efisiensi diambil pada belanja non-output dan perjalanan dinas, berdasarkan Instruksi Presiden dan surat edaran Mendagri.
Namun, anggota DPRD, Rahman Pua, mengkritik keputusan penggunaan dana efisiensi untuk membayar utang pihak ketiga yang dianggap tidak sesuai dengan aturan. Ia menilai seharusnya pembayaran utang dilakukan melalui APBD Perubahan dengan memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) yang mencapai Rp28 miliar.
“Edaran Mendagri hanya memuat tujuh poin, dan tidak ada yang menyebut pembayaran utang,” tegas Rahman.
Ia juga mempertanyakan efektivitas penggunaan dana efisiensi sebesar Rp23 miliar terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat. Menurutnya, dana semestinya diarahkan ke program prioritas seperti penanganan stunting dan pengendalian inflasi.
Kritik terhadap Perubahan Postur Anggaran
Anggota DPRD lainnya, Adison, menyampaikan kritik terhadap perubahan postur APBD dari Rp791 miliar menjadi Rp748 miliar akibat efisiensi dan intervensi pusat. Ia menyoroti pemangkasan belanja modal yang dianggap tidak sesuai dengan surat edaran Mendagri.
Menurut Adison, pemangkasan seperti pengurangan belanja peralatan dan mesin dilakukan tanpa dasar aturan yang jelas. Ia juga menegaskan bahwa utang pihak ketiga semestinya masuk ke pos pembiayaan, bukan ke belanja modal.
Namun, LM Tito Yasrimal menegaskan bahwa pembayaran utang pekerjaan yang belum selesai pada tahun sebelumnya sah dimasukkan ke dalam pos Belanja Modal sebagai Kegiatan Lanjutan (KDP), bukan pembiayaan. Hal ini sesuai dengan mekanisme pencatatan konstruksi dalam pengerjaan.
Dorongan Evaluasi dan KUA-PPAS Perubahan
Anggota DPRD, Farid Bahmid, menekankan bahwa efisiensi tidak boleh mengubah nomenklatur APBD di luar mekanisme APBD Perubahan. Ia meminta agar dokumen KUA-PPAS APBD Perubahan 2025 segera disiapkan agar pembahasan tidak molor.
Tiga poin yang ia garis bawahi:
1. Efisiensi tidak boleh mengubah nomenklatur APBD.
2. Kebijakan baru hanya bisa diterapkan lewat APBD Perubahan.
3. Perlu ada kepastian bahwa efisiensi masuk dalam dokumen APBD Perubahan, bukan berjalan dalam APBD Induk.
Ia juga mempertanyakan legalitas pelaksanaan efisiensi yang terkesan berjalan tanpa persetujuan politik DPRD.
Inspektorat: Efisiensi Akibat Penyesuaian Dana Transfer
Pihak Inspektorat menjelaskan bahwa kebijakan efisiensi muncul sebagai respon atas Keputusan Menteri Keuangan, yang memotong alokasi transfer dana ke daerah. Hal ini memaksa daerah menyesuaikan kembali struktur anggarannya.
Total efisiensi yang dilakukan adalah Rp23 miliar
Namun, dalam praktiknya ditemukan miskomunikasi antara OPD dan perencana anggaran, termasuk tidak lengkapnya dokumen perencanaan di beberapa instansi seperti Sekretariat DPRD.
Inspektorat menegaskan bahwa fungsi pengawasan tetap berjalan dan siap mempercepat proses telaah jika diminta oleh pimpinan DPRD. Mereka juga menyarankan agar efisiensi ditelaah secara menyeluruh dalam pembahasan APBD Perubahan.
Rekomendasi DPRD Buton
Sebagai penutup, DPRD Buton menyampaikan lima poin rekomendasi:
1. Setiap efisiensi anggaran harus dilaporkan dan dibahas bersama DPRD.
2. Pemerintah daerah wajib melibatkan DPRD dalam penyusunan anggaran yang berdampak besar.
3. Efisiensi yang tidak sesuai dengan arahan pusat akan ditelaah lebih lanjut.
4. DPRD akan menindaklanjuti persoalan ini ke tingkat lebih tinggi jika ditemukan pelanggaran tata kelola anggaran.
5. Kebijakan belanja pasca-efisiensi tidak boleh dilakukan tanpa analisis kebutuhan yang jelas.
Forum kemudian menyepakati pentingnya komunikasi yang lebih erat antara DPRD dan pemerintah daerah agar seluruh kebijakan anggaran benar-benar berpihak pada kepentingan publik secara terukur dan berkelanjutan. (Adm)