Surumba.com – Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buton, Syafaruddin, mengakui adanya kelebihan realisasi anggaran yang membengkak hingga lebih dari dua kali lipat dari pagu yang sah. Meski dalam APBD dicatat sebagai tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja PNS, namun ia menolak menyebut belanja tersebut sebagai Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).
Menurutnya, dana yang digunakan pihaknya berasal dari kapitasi layanan kesehatan yang disalurkan BPJS Kesehatan ke Puskesmas, bukan TPP sebagaimana diterima ASN Pemkab Buton lainnya.
“Yang kami terima itu dana kapitasi, bukan TPP. Dana kapitasi itu 60 persen untuk jasa pelayanan kesehatan, sedangkan 40 persennya untuk operasional, modal, dan alat kesehatan,” kata Syafaruddin.
Meski begitu, nomenklatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Perubahan Penjabaran APBD mencatat pos tersebut sebagai Tambahan Penghasilan Berdasarkan Beban Kerja PNS. Artinya secara administrasi, pencatatan belanja itu ditempatkan dalam kategori belanja pegawai.
Keras Kepala Soal Istilah
Wartawan mempertanyakan kejanggalan tersebut karena nomenklatur yang digunakan jelas menyebut tambahan penghasilan PNS. Namun, Syafaruddin bersikeras bahwa dana kapitasi tidak bisa dikatakan TPP.
“Meski masuk dalam nomenklatur belanja pegawai, itu tetap dana kapitasi. Jadi jangan salah kaprah. Kami dari dinas sampai Puskesmas tidak menerima TPP,” ujarnya.
Penjelasan itu tidak menyelesaikan masalah, sebab menurut aturan, 60 persen dana kapitasi memang dialokasikan untuk jasa pelayanan kesehatan. Berdasarkan Permendagri Nomor 28 Tahun 2021, pencatatan dana kapitasi dalam APBD harus ditempatkan pada belanja langsung di Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD Puskesmas atau fasilitas kesehatan, bukan dalam pos TPP.
Syafaruddin mengakui adanya kelebihan pembayaran sebesar Rp4,59 miliar yang tidak tercatat dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Meski begitu, ia menyebut dana tersebut tetap bisa langsung disalurkan ke pegawai Puskesmas.
“Iya, karena itu dana kapitasinya mereka. Hanya memang tidak tercatat di DPA kami,” katanya.
Bahkan, ia menilai penyaluran dana tersebut sah meskipun tidak pernah dibahas bersama DPRD dalam APBD. “Sah, karena masuk dalam lain-lain pendapatan yang sah daerah,” lanjutnya.
Padahal, dalam praktik pengelolaan keuangan daerah, setiap pendapatan baru yang belum masuk APBD seharusnya disimpan terlebih dahulu sebagai SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran). Setelah itu, barulah bisa digunakan setelah disahkan melalui pembahasan APBD bersama DPRD.
Kejanggalan lain terlihat dari dua dokumen resmi pemerintah daerah yang menunjukkan angka berbeda. Dalam Perbup Nomor 28 Tahun 2024, alokasi anggaran TPP untuk Dinas Kesehatan tercatat Rp2,899 miliar. Namun dalam Rancangan Perbup Tahun 2025 tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2024, angkanya berubah menjadi Rp2,126 miliar. Selisihnya mencapai Rp772,5 juta.
Lebih jauh, realisasi belanja TPP dalam dokumen pertanggungjawaban justru tercatat Rp6,716 miliar. Angka itu membengkak 215,8 persen dari pagu sah, yakni Rp2,126 miliar.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pengeluaran tanpa dasar anggaran merupakan pelanggaran hukum. Pasal 19 ayat (1) tegas melarang pengguna anggaran melakukan pengeluaran bila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayainya.
Alasan Perubahan Anggaran
Syafaruddin menjelaskan, dalam DPA awal 2024, dana kapitasi ditetapkan Rp3,2 miliar. Angka ini kemudian turun menjadi Rp2,8 miliar dalam APBD Perubahan. Penurunan disebabkan adanya kebijakan Pj Bupati Buton saat itu, La Ode Mustari, yang memerintahkan agar peserta seleksi KPPS dan pengawas TPS Pemilu 2024 digratiskan pembuatan Surat Keterangan Berbadan Sehat.
“Peserta seharusnya bayar, tapi kemudian digratiskan. Untuk itu dipakai anggaran sekitar Rp335 juta,” jelasnya.
Selain itu, pada November 2024, terjadi kekurangan pembayaran insentif dokter selama lima bulan dengan total Rp772,5 juta. Dana tersebut tidak tersedia dalam APBD Perubahan sehingga akhirnya diambil dari dana kapitasi.
Secara total, dana kapitasi yang masuk ke 15 Puskesmas sepanjang 2024 berjumlah Rp5,8 miliar. Namun, realisasi belanja dalam dokumen pertanggungjawaban mencapai Rp6,7 miliar. Selisih ini dipengaruhi oleh pembayaran jasa medik umum dan dana nonkapitasi yang sudah terlanjur dibayarkan sebesar Rp903 juta.
Kondisi ini menyebabkan belanja yang semula direncanakan Rp2,899 miliar justru membengkak lebih dari dua kali lipat.
Honorer Ikut Kebagian
Syafaruddin juga mengakui bahwa dana kapitasi yang dicatat dalam nomenklatur tambahan penghasilan pegawai tidak hanya dibayarkan kepada PNS. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan tenaga honorer juga ikut menerima.
“Namanya memang tambahan penghasilan PNS, tapi bisa dibayarkan juga kepada PPPK dan honorer,” katanya.
Hal ini kembali menimbulkan pertanyaan, sebab nomenklatur resmi hanya menyebut TPP untuk PNS, bukan tenaga non-PNS.
Aturan yang Diabaikan
Merujuk pada Permendagri Nomor 28 Tahun 2021, pemanfaatan dana kapitasi seharusnya dicatat dalam format dan kode rekening belanja tersendiri. Pendapatan dari BPJS Kesehatan dicatat sebagai pendapatan transfer lainnya, sementara belanja untuk jasa pelayanan dan biaya operasional masuk sebagai belanja langsung pada RKA SKPD Puskesmas.
Dengan demikian, pencatatan dana kapitasi sebagai TPP tidak sesuai dengan pedoman yang berlaku. Kondisi ini memperkuat dugaan adanya kekeliruan atau bahkan kesengajaan dalam penempatan nomenklatur anggaran.
Hingga kini, masih belum jelas mengapa dana kapitasi dicatat sebagai TPP dalam APBD Buton. Perbedaan data dalam dua dokumen resmi, kelebihan realisasi anggaran yang mencapai Rp4,59 miliar, serta pembagian dana kepada pegawai non-PNS, semuanya menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran Kabupaten Buton. (Adm)