Buton Bukan Indonesia?

Direktur Buton Action Network, USA, Lamadi de Lamato, SE, MBA. (Foto: Ist)

Oleh: Lamadi de Lamato
Direktur Buton Action Network, USA

Tahun 2014, saya mengundang Profesor Susanto Zuhdi, untuk menghadiri bedah bukunya, "Labu Rope, Labuwana; Buton Yang Terabaikan". Buku itu sangat spesial di mata saya.

Di mata saya buku itu menggugah kesadaran saya secara fundamental. Satu yang saya rasakan, buku itu meyadarkan saya bahwa Buton adalah sebuah bangsa, bukan suku pada umumnya. Dan kesimpulan lain, "Buton itu bangsa besar".

Membayar Rasa Ingin Tahu

Jauh sebelum mengundang Profesor Susanto Zuhdi, kami sempat berkenalan. Ia kenal saya sebagai spesial pengamat dan penulis buku-buku kritis tentang Papua. Dari perkenalan singkat itu, ia pun tahu bahwa saya orang Buton.

Bak gayung bersambut, ia pun mengenalkan karyanya tentang buku Buton. Dari buku itu ia meraih gelar Profesor di Universitas Indonesia (UI). Saya sempat kuliah di kampus ini bersama Rieke Dyah Pitaloka dan Dian Sastrowardoyo mengambil kajian filsafat.

Dari perkenalan singkat itu, saya memborong bukunya dan memfasilitasi kedatangannya di Kota Jayapura. Bedah buku berjalan di sebuah hotel yang membekas bagi saya.

Uang yang saya keluarkan dari kantong pribadi memang sangat mahal tapi itulah satu-satunya cara saya membayar rasa ingin tahu tentang identitas saya. Banyak pertanyaan setelah bedah buku itu usai.

Betulkah Buton itu Indonesia?

Satu yang membuat saya bertanya tanya, benarkah Buton adalah Indonesia? Profesor asli Banyumas ini telah membuka tabir dalam banyak hal tentang Buton dalam bukunya itu.

Buku hasil penelitiannya itu ia lakukan belasan tahun. Sebuah karya ilmiah yang luar biasa dalam menyajikan sebuah karya yang orisinil. Profesor ini membuat Buton yang tertutup banyak cerita mitos mampu ia jembatani menjadi bahasa historis dan mudah dimengerti.

Selain buku ini, Profesor menulis buku-buku tematik Buton yang lain. Ia bahkan sedang membangun cerita bila Buton adalah salah satu bangsa yang menjahit ke Indonesiaan khususnya di negeri bagian Timur.

Yang terkini, Profesor ini ikut merasionalisasikan Oputa Yi Koo atau Sultan Himayatuddin jadi tokoh Buton yang diangkat jadi pahlawan nasional dari Sultra.

Uniknya, semakin ia membawa bangsa Buton bagian dari Indonesia, saya malah seperti "tidak terima". Bukan sekali atau dua kali, saya dengan Profesor sering berbeda pendapat.

Misteri Sejarah dan Tergusurnya Buton

Perbedaan pendapat saya dengan Profesor begitu tajam tapi tetap kami bersahabat. Saya pernah membaca buku Antropologi Islam untuk mengetahui tipikal kepemimpinan khas Sultan-Sultan Buton.

Sejak berubah bentuk dari kerajaan ke kesultanan, Buton sudah tidak berselera menghadapi musuh dengan perang. Itu diakibatkan doktrin Islam tasawuf begitu kuat.

Perang yang paling hebat adalah melawan hawa nafsu. Tidak heran bila para sultan lebih menonjol dalam ibadah, pendidikan, pembangunan akhlaq dan membangun persahabatan termasuk dengan Belanda.

Kondisi ini ikut berpengaruh di rantau. Orang Buton menonjol di perantauan pada abad-abad awal tapi mereka sangat "tasawuf" seperti sultan-sultannya. Membantu karena Allah sehingga jejak kejayaan Buton gampang hilang.

Masih banyak yang ingin saya uraikan tapi kurang lebih seperti itu. Di era-era Indonesia, Buton mulai tergusur puncaknya pada reformasi 1998. Sejumlah daerah konflik, bangsa Buton banyak yang tergusur dan di eksploitasi.

Itu belum termasuk peristiwa tahun 1965. Tragedi di Buton yang terkait dengan elitnya di eksploitasi hingga banyak dokumen bersejarah zaman kesultanan yang hilang di mana-mana. Saya curiga, dokumen perjanjian Sultan Buton dengan Presiden Soekarno terkait kedaulatan juga hilang dan sebagainya.

Dari beberapa alasan itu, saya banyak berbeda dengan Profesor Susanto Zuhdi. Ia menyebut Buton bagian dari NKRI secara ilmiah melalui buku dan tulisan-tulisannya.

Sementara saya juga punya sejumlah alasan dan referensi bila kata-katanya itu keliru. Dalam konteks itu, saya kini sedang menulis buku yang sama untuk mengklarifikasi anggapannya bahwa "Buton itu Indonesia".

Saya juga sedang membangun Buton Action Network untuk menggali sejarah tentang Buton lebih luas bukan sebatas di Nusantara saja. Buton itu mendunia karena dari kerajaan ke kesultanan ia membawa nilai-nilai Islam modernis, toleran, unggul dan sebagainya.

Bagikan:

POPULER

Program Gizi Berujung Keracunan: 23 Balita dan Ibu Hamil Dirawat di Puskemas Wolowa Adm 26-05-2025 | 14:45PM