Surumba.com – Dua dokumen resmi Pemerintah Kabupaten Buton tahun 2024 dan 2025 memperlihatkan fakta yang saling bertentangan. Perbedaan ini bukan hanya tentang angka, melainkan menyingkap dugaan praktik pengelolaan anggaran yang menyimpang.
Temuan itu kian mencengangkan karena menyangkut pos Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) pada Dinas Kesehatan yang belanjanya membengkak hingga lebih dari dua kali lipat dari pagu yang sah.
Dokumen pertama adalah Peraturan Bupati Buton Nomor 28 Tahun 2024 tentang Perubahan Penjabaran APBD. Dalam dokumen ini, alokasi anggaran TPP untuk Dinas Kesehatan tercatat sebesar Rp 2,899 miliar pada sub kegiatan dengan kode rekening 5.1.01.02.01.0001.
Namun, dalam dokumen kedua, yaitu Rancangan Peraturan Bupati Tahun 2025 tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2024, angka yang sama justru berubah menjadi Rp 2,126 miliar. Selisihnya mencapai Rp 772,5 juta.
Kedua dokumen tersebut sama-sama produk hukum daerah yang seharusnya konsisten. Namun perbedaan signifikan di dalamnya menimbulkan pertanyaan serius mengenai akurasi pencatatan dan transparansi pengelolaan anggaran.
Kejanggalan kian mencuat ketika melihat data realisasi. Masih dalam dokumen pertanggungjawaban APBD 2024, realisasi belanja TPP ASN di Dinas Kesehatan tercatat sebesar Rp 6,716 miliar.
Padahal, alokasi final dalam APBD Perubahan hanya Rp 2,126 miliar. Artinya, terdapat kelebihan pembayaran (over-expenditure) sebesar Rp 4,59 miliar, atau 215,8 persen di atas pagu anggaran yang sah.
Dalam praktik tata kelola keuangan daerah, pengeluaran melebihi pagu tidak mungkin dilakukan secara sah. Hal itu dilarang tegas dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa “Pengguna Anggaran dilarang melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran apabila anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.”
Dengan demikian, kelebihan pembayaran ini secara hukum termasuk pengeluaran tanpa dasar anggaran.
Paradoks di Tengah Krisis Fiskal
Konteks yang melingkupi anomali ini semakin memperbesar kejanggalan. Pada 2024, Pemerintah Kabupaten Buton secara terbuka menyampaikan kondisi krisis keuangan. Plt Kepala BPKAD Buton, Siti Raymuna, bahkan menyatakan bahwa TPP ASN untuk tahun itu tidak dapat dibayarkan karena keterbatasan kas daerah akibat tingginya beban utang dan kebutuhan penyelenggaraan Pilkada.
Sejumlah ASN dari OPD lain pun bereaksi keras, melayangkan surat keberatan kepada Pj Bupati La Haruna, bahkan mengancam langkah hukum. Namun, di tengah narasi krisis ini, Dinas Kesehatan justru membayarkan TPP dengan jumlah yang fantastis, bahkan jauh melampaui pagu resmi.
Paradoks ini menimbulkan pertanyaan fundamental, pertama, jika kas daerah benar-benar kosong, dari mana Dinas Kesehatan memperoleh dana tunai hingga Rp 6,7 miliar? Kedua, bagaimana sistem keuangan daerah bisa memproses belanja yang melebihi pagu 200 persen tanpa dihentikan?
Hipotesis yang paling kuat adalah adanya pengalihan Dana Kapitasi JKN untuk membiayai kelebihan belanja ini. Dana Kapitasi merupakan dana titipan dari BPJS Kesehatan yang diperuntukkan bagi pelayanan kesehatan di puskesmas. Dana ini bersifat terikat (earmarked fund) dan tidak boleh dipakai untuk belanja pegawai.
Aturan mengenai hal ini jelas tercantum dalam Permenkes No. 6 Tahun 2022, yang membatasi penggunaan Dana Kapitasi hanya untuk dua komponen yakni jasa pelayanan kesehatan (minimal 60 persen) dan dukungan biaya operasional. Tidak ada klausul yang memperbolehkan penggunaan dana tersebut untuk TPP ASN.
Jika benar dana ini dialihkan untuk TPP, maka terjadi pelanggaran langsung terhadap regulasi lex specialis. Artinya, tindakan itu bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan perbuatan melawan hukum.
Selain Undang-Undang (UU) Perbendaharaan Negara, dugaan penyimpangan ini berpotensi melanggar beberapa regulasi penting lain:
- UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengatur asas penggunaan anggaran sesuai peruntukan.
- PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang menegaskan bahwa belanja tidak dapat dilakukan tanpa adanya penetapan DPA.
- UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 (kerugian keuangan negara) dan Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang).
Dalam konteks ini, ASN penerima TPP di Dinas Kesehatan memang menerima pembayaran, tetapi secara hukum dana itu dapat dikategorikan sebagai penerimaan yang tidak sah karena bersumber dari pengeluaran di luar pagu.
Kejanggalan ini juga menyingkap persoalan serius di bidang pengawasan. Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), dalam hal ini Inspektorat Kabupaten Buton seharusnya dapat mendeteksi kelebihan belanja sebesar itu sejak awal. Namun kenyataannya, realisasi Rp 6,7 miliar tetap tercatat dalam laporan pertanggungjawaban.
Lebih membingungkan lagi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetap memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada Pemkab Buton. Padahal, secara substantif, laporan keuangan daerah mengandung anomali yang sangat besar.
Hal ini menunjukkan bahwa opini WTP tidak serta-merta berarti bebas dari praktik penyimpangan. Auditor BPK bisa saja tidak mendeteksi aliran dana ilegal karena fokus pada kepatuhan administratif, bukan pada penelusuran sumber dana.
Jika mengacu pada hal serupa di daerah lain, kasus ini sebenarnya bukanlah anomali tunggal. Sejumlah daerah lain juga pernah tersangkut kasus korupsi Dana Kapitasi, mulai dari Bima, Karimun, hingga Mataram. Modus yang terungkap umumnya sama yakni pemotongan jasa pelayanan puskesmas, setoran wajib ke pejabat dinas, hingga pengalihan dana untuk belanja lain.
Dengan pola yang konsisten ini, dugaan penyimpangan Dana Kapitasi di Kabupaten Buton semakin masuk akal. Apalagi, Dinas Kesehatan adalah satu-satunya OPD dengan akses langsung ke aliran Dana Kapitasi dari BPJS.
Dari perbandingan dua dokumen resmi Pemkab Buton, terungkap setidaknya tiga kejanggalan besar, yakni:
- Perbedaan angka alokasi antara Perbup 28/2024 (Rp 2,899 miliar) dan dokumen pertanggungjawaban APBD (Rp 2,126 miliar).
- Realisasi belanja yang melampaui pagu hingga Rp 6,716 miliar, kelebihan Rp 4,59 miliar.
- Paradoks kebijakan, yakni ASN lain tidak menerima TPP karena alasan krisis, tetapi Dinas Kesehatan justru mengeluarkan belanja besar.
Kejanggalan ini bukan hanya perbedaan administratif, tetapi mengindikasikan adanya praktik pengelolaan keuangan yang melanggar aturan dasar negara.
Pengakuan Kepala Dinas Kesehatan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buton, Safaruddin, ketika dikonfirmasi, tidak membantah adanya realisasi belanja jumbo tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa dana itu bukan TPP murni seperti yang diterima ASN Pemkab Buton lainnya.
“Itu sebenarnya adalah dana kapitasi JKN Jaminan Kesehatan Nasional. Walaupun termasuk dalam tambahan beban kerja, tapi dia bukan TPP ASN yang tidak dibayarkan itu. Sumbernya berasal dari tambahan dana kapitasi BPJS yang langsung masuk ke rekening Puskesmas,” kata Safaruddin.
Menurutnya, dana itu hanya untuk pegawai puskesmas yang memberikan layanan kesehatan, bukan untuk ASN kantor Dinas Kesehatan. Dana kapitasi yang ditransfer BPJS Pusat ke puskesmas kemudian dimasukkan dalam DPA Dinas Kesehatan dengan nomenklatur “tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja ASN”.
“Jadi itu bukan TPP, tapi dana kapitasi JKN hanya berbunyi di dalam DPA-nya itu adalah tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja. Itu berasal dari dana kapitasi JKN yang ditransfer dari BPJS pusat ke Puskesmas,” jelasnya.
Safaruddin juga berargumen bahwa penggunaan dana kapitasi untuk tambahan penghasilan pegawai puskesmas sesuai aturan, karena masuk dalam komponen jasa pelayanan kesehatan sebesar 60 persen sebagaimana diatur Permenkes No. 6 Tahun 2022.
“Boleh, karena inklut dalam jasa pelayanan kesehatan. Tapi dalam DPA disebut sebagai tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja,” ujarnya.
Mengapa Bisa Membengkak?
Soal lonjakan dari Rp 2,1 miliar menjadi Rp 6,7 miliar, Safaruddin menjelaskan bahwa alokasi awal hanyalah perkiraan. Dana kapitasi dari BPJS dihitung berdasarkan jumlah peserta JKN di setiap puskesmas.
“Sebenarnya itu hanya perkiraan dana yang masuk. Ternyata dana yang masuk di Puskesmas itu sebesar Rp 6 miliar lebih. Walaupun di perkiraan awal hanya Rp 2,1 miliar, begitu. Karena adanya pertambahan jumlah peserta BPJS di setiap puskesmas,” kata dia.
Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak menerima pembayaran itu. “Ah, tidak. Yang dapat hanya pegawai puskesmas. Mereka gunakan 60 persen untuk belanja pegawai, 40 persen untuk operasional,” tambahnya. (Adm)