Hari Ibu dan Emansipasi Wanita Indonesia

Fetri Yuli Haerun. (Foto: Ist)

Oleh: Fetri Yuli Haerun
Anggota HMI Komisariat Insan Cita Pasarwajo

Hari Ibu selalu diperingati setiap tanggal 22 Desember. Hari ini, Selasa (22 Desember 2020) telah memasuki usia ke-92 tahun.

Pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, diselenggarakan kongres perempuan Indonesia pertama. Salah satu keputusanya, dibentuknya satu organisasi federasi yang mandiri bernama Perikatan Perkumpulan Perempuanan Indonesia (PPPI) yang kemudian mengalami perubahan beberapa kali.

Pada tahun 1929, PPPI berganti nama menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Kongres tahun 1930 di Surabaya memutuskan bahwa “kongres berasaskan kebangsaan Indonesia, menjunjung kewanitaan, meneguhkan imannya”. Karena itu, tujuan pergerakan wanita Indonesia selain untuk memperjuangkan perbaikan derajat kedudukan wanita, juga memperjuangkan kemerdekaan. Mempertahankan serta mengisinya dengan pembangunan bangsa dan negara. Hal itulah yang membedakan perjuangan emansipasi wanita Indonesia dengan emansipasi di luar negeri.

Lanjut tahun 1935, PPII berganti nama menjadi Kongres Perempuan Indonesia. Kemudian tahun 1946 menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) sampai sekarang.

Dalam KOWANI II tahun 1935 di Jakarta, ada beberapa keputusan penting yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah kewajiban utama wanita Indonesia menjadi “Ibu Bangsa" yang berarti berusaha menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar akan kebangsaannya.

Tahun 1938, KOWANI III di Bandung memutuskan bahwa setiap tanggal 22 Desember menjadi peringatan Hari Ibu, namun bukan hari libur. Hal ini kemudian dikukuhkan pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari.

Lambang Hari Ibu berupa setangkai Bunga melati dengan kuntumnya yang menggambarkan:

  1. Kasih sayang kodrati antara ibu dan anak
  2. Kekuatan, kesucian, antara ibu dan pengorbanan anak; dan
  3. Kesadaran wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam pembangunan bangsa dan Negara.

Peran Perempuan Dalam Presepsi Islam

Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW menyatakan bahwa "perempuan adalah tiang negara. Bila kaum perempuannya baik (berakhlak karimah), maka negaranya baik, dan bila kaum perempuannya rusak (amoral), maka rusaklah negara itu".

Perempuan adalah sosok yang menjadi tauladan bagi sebuah generasi sehingga harus dipersiapkan secara matang untuk menuju sebuah perubahan.

Perempuan ibarat sekolah, jika di didik dengan baik berarti telah mempersiapkan sebuah bangsa dengan baik. Perempuan dengan tangan kirinya menggoyang buaian dan tangan kanannya menggenggam dunia. Perempuan adalah tiang negara.

Sesungguhnya Islam memberikan perhatian yang besar terhadap kaum perempuan dan menempatkan mereka pada posisi yang terhormat. Agama apapun mengajarkan untuk memuliakan seorang ibu.

Dalam agama Islam, Rasulullah SAW menauladani kita untuk memuliakan seorang ibu. Seorang laki-laki pernah bertanya kepada beliau, "siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dari diriku wahai Rasul", beliau menjawab "ibumu".

Lelaki itu bertanya kembali, "kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab "Ibumu". Lelaki itu bertanya kembali, "kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab "ibumu". "Lalu siapa lagi?" "Ayahmu" jawab Rasulullah SAW ( HR. Bukhari dan Muslim).

Begitulah posisi ibu di mata agama sangat di utamakan dan dimuliakan.

Penindasan dan Diskriminasi Terhadap Perempuan

Diskriminasi selalunya terjadi karena tidak adanya perlawanan dari pihak yang ditindas sehingga pelaku yang mengintimidasi korbannya merasa lebih kuat dan leluasa.

Alasan mengapa seseorang melalukan intimidasi adalah agar mendapat pengakuan di dalam kelompoknya atau masyarakat. Merasa dirinya hebat dan selalu ingin di takuti dan juga memberikan rasa puas tersendiri.

Jika mendengar kata diskriminasi, maka seringkali orang mengkaitnya dengan Gender. Sebab diskriminasi yang paling besar adalah bagian dalam suatu kelompok masyarakat perlakuan gender yang berbeda pada suatu kaum, khusus nya kaum perempuan.

Kita sudah melihat bagaimana pertentangan antara laki-laki dan perempuan sejak kehadirannya di bumi. Dari pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan hingga siapa yang harus merawat anak.

Melalui penindasan yang dikemas secara halus, lewat konstruksi kultural dan sosial, perempuan hari ini pun terlihat tidak sadar akan posisi mereka seharusnya dalam masyarakat. Ironisnya para perempuan lebih cenderung menerima fenomena ini dengan lapang dada apa yang terjadi dalam dunia yang penuh dengan supremasi laki-laki.

Sampai saat ini penindasan terhadap perempuan masih masalah khusus yang tak pernah habis untuk dibahas. Bahkan pencabulan terhadap perempuan khususnya di bawah umur masih ramai terjadi di mana-mana.

Perempuan dianggap hanya sebagai objek pemuas. Bahkan setelah pencabulan terjadi, tetap yang di salahkan adalah si perempuan (korban) karena katanya cara berpakaiannya lah yang menyebabkan dia dicabuli. Katanya pihak perempuanlah yang mengundang nafsu laki-laki.

Namun kenyataanya tidak selalu demikian. Kita pernah mendengar nenek-nenek lansia yang di perkosa oleh pemuda? Ada pula Ayah yang memperkosa anaknya sendiri yang masih kecil. Ada pula perempuan yang berhijab yang dilecehkan laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Apakah ini bisa menjadi bukti kalau cara berpakaian seorang perempuan adalah penyebab banyaknya pelecehan seksual pada perempuan?

Ada banyak sekali kasus pencabulan dan kekerasan terhadap perempuan yang tidak dituntas atau hanya diselesaikan dengan damai secara kekeluargaan. Hal inilah yang harus kita ketahui supaya kita tidak terjebak oleh kentaan atau fakta-fakta yang hadir secara empiris. Mencari tau suatu akar permasalahan jangan hanya dilihat dari luarnya saja, tetapi kita harus melihat lebih dalam bagaimana akar permasalahan tersebut.

Tidak mudah memang, ketika kita sendirian melawan sistem dalam kondisi masyarakat yang sekarang ini. Jadi harus ada pemakaian cara-cara alternatif dalam melawan penindasan terhadap perempuan. Secara praksis tentunya bukan hanya perempuan saja, namun semua elemen masyarakat harus sadar akan hal ini.

Melawan sebuah penindasan bukan semerta-merta berbicara pemenuhan hak dan kebutuhan saja. Namun kita juga berbicara keadilan sosial yang akan tercipta dengan tidak adanya penindasan bagi seluruh rakyat.

Perempuan harus memahami bentuk hubungan yang sehat pada keluarga dan masyarakat, itu termasuk kunci terhindar dari kekerasan, dibutuhkan kepribadian yang kuat dan sehat agar bisa berperilaku sesuai norma dan menyetop kekerasan terhadap perempuan.

Pemerintah harus meningkatkan kegiatan pemberdayaan perempuan di setiap daerah dan membentuk satgas pemajuan perempuan. Dan yang terpenting perempuan harus lebih berani, untuk menyuarakan pendapatnya.

Selamat Hari Ibu 1928 - 2020.

Bagikan:

ARTIKEL TERKAIT

POPULER

Dorong Pembangunan Kawasan Permukiman, Bupati Buton Temui Dirjen Kementerian PUPR Adm 14-06-2025 | 04:24AM