Oleh: Lamadi de Lamato, SE, MBA
Presiden Buton Network, USA
Tahun 2014, saya kembali mengundang ahli sejarah Profesor La Niampe ke tanah Papua.
Guru besar Universitas Haluoleo, Kendari ini hadir sebagai pembicara dalam acara Kongres Kerukunan Keluarga Sulawesi Tenggara (KKST) ke-2 di Hotel Green Abe, Kamkey, Jayapura.
Sebagai Ketua Panitia, saya lebih banyak berinteraksi dengan Profesor asal Muna ini. Dari ngobrol hingga ia memberi materi pada peserta, saya tekun menyimak uraian-uraian ilmiahnya.
Ada satu ungkapannya yang menarik dari sekian ceramahnya. Sebuah sejarah tentang Buton yang enggan menandatangani pertemuan para raja-raja Nusantara dengan Presiden Soekarno.
Saat itu, proklamator kemerdekaan Indonesia ini tengah gencar melobby raja-raja yang hadir untuk bergabung dalam NKRI. Semua yang hadir konon menandatangani "absen hadir" tanda setuju kecuali hanya dua yang enggan.
Adalah Sultan Buton ke-38 dan Aceh yang tidak ikut tanda tangan. Ungkapan Profesor ini langsung menggugah rasa ingin tahu saya lebih dalam. Konon, arsip pertemuan tersebut dokumennya tersimpan di sebuah museum sejarah di Makassar, Sulawesi Selatan.
Buton Masuk Wilayah NKRI
Di awal-awal Buton masuk dalam NKRI, saya menyaksikan banyak yang unik. Tahun 1960-an, wilayah Buton tidak langsung otonom sebagai negeri besar. Tampak anggota DPRD harus berjuang sangat keras untuk bisa memekarkan wilayahnya.
Di era orde baru kita mengenal daerah tingkat satu dan dua (DATI I dan II) harus melalui proses yang panjang. Wakil-wakil rakyat Buton harus bekerja pontang-panting untuk memekarkan setiap wilayahnya.
Pekerjaan yang tidak gampang karena birokrasinya bertingkat. Perdebatan tentang letak ibukota provinsi sangat alot terjadi di awal-awal. Belum lagi pembentukan kabupaten baru yang butuh restu birokrasi di atasnya dan sebagainya.
Perdebatan yang menguras energi karena sistem pemerintahan yang terpusat. Perdebatan yang membuat tanda tanya besar dengan status Buton ketika disebut sebagai istimewa di mata Soekarno.
Sebuah pertanyaan kenapa Buton harus berada dibawah administrasi Sulawesi Selatan bila ia negeri otonom? Apa-apa yang harus dilakukan Buton harus di konsultasikan ke Makassar terutama terkait pemekaran daerah dan sebagainya.
Masalah inilah yg membuat saya sempat curiga. Masuk wilayah NKRI, Buton seperti masuk dalam perangkap "penjajahan baru".
Bila Anda membaca sejarah dengan baik, Anda pasti tahu sejarah Makassar dan Buton yang dahulu punya rekam jejak sejarah kerajaan yang buram.
Makassar kesal dengan Buton karena menyembunyikan Raja Bugis, Arung Pallaka, dan Makassar terpaksa takluk dalam perang ketika Buton berkongsi dengan Bugis dan Belanda. Sejarah takluknya Makassar dikenal dengan peristiwa perjanjian Bungaya abad XVI.
Peran Siolimbona Dalam NKRI
Sejumlah pertanyaan aneh di atas harus digugah kembali. Betulkah pertemuan Presiden Soekarno dengan Sultan Buton ke-38, La Ode Muhammad Falihi, di Malino membicarakan hal strategis dan masa depan Buton pasca era kesultanan?
Apakah yang dibicarakan tentang bergabungnya Buton dengan NKRI termasuk status daerah istimewa? Maklum Buton sangat istimewa karena perangkat negeri berdaulat yang ia miliki sudah berjalan 500 tahun lebih.
Lalu kalau sudah bergabung, adakah peran Siolimbona? Pasalnya, Siolimbona adalah DPR-RI di era modern. Sultan tunduk pada ketentuan suara rakyat yang sepenuhnya otoritas milik Siolimbona.
Siolimbona adalah lembaga kredibel dengan 9 orang dengan sistim yang sudah baku dan transendental. Mereka yang duduk di situ sangat bertanggung jawab pada rakyat dan Tuhan YME.
Kesimpulannya, saat menyerahkan Buton yang berdaulat kepada NKRI, sudahkah Sultan Buton ke 38 La Ode Muhammad Falihi mendapat legitimasi resmi dewan Siolimbona?
Untuk hal itu, rasa penasaran saya dalam pertemuan guru besar sejarah Profesor La Niampe tiba-tiba muncul. Hal ini wajar mengingat Buton berada dalam wilayah NKRI banyak yang unik, aneh, membingungkan dan misterius?
Wallahu Alam Bishawab.