Surumba.com – Kritik Bupati Buton Alvin Akawijaya Putra soal penyalahgunaan bantuan perikanan rupanya membuka borok lama yang selama ini tertutup rapat. Fakta di lapangan menunjukkan, masalah ini bukan sekadar kelalaian dinas, melainkan skema terencana yang melibatkan pemerintah desa, politisi daerah, hingga lingkaran tim sukses.
Kesaksian nelayan dan petani mengungkap, bantuan yang mestinya menopang ekonomi justru menjadi “ladang panen” bagi perangkat desa dan orang-orang dekat mereka.
Di Kecamatan Wabula, seorang nelayan berinisial A mengatakan, permainan ini dimulai sejak tahap pengusulan proposal. “Kepala desa ikut tanda tangan, berarti dia mengakui penerima bantuan itu benar nelayan atau petani. Padahal dia tahu betul yang mengajukan ini perangkatnya sendiri atau keluarganya. Jadi bantuan ini memang sudah diarahkan sejak awal untuk mereka sendiri,” ujarnya, Sabtu (9 Agustus 2025).
Skema ini membuat penerima bantuan selalu didapat kelompok yang sama. Setelah keluarga dan tim inti kepala desa kebagian, barulah sisanya jika ada jatuh ke masyarakat umum.
“Itu pun kalau masih ada sisa. Akhirnya kami nelayan ini seringnya tidak dapat apa-apa, jadi terpaksa usaha sendiri,” kata A.
Sementara itu, menurut seorang petani berinisial LN, permainan ini berlanjut di tingkat politik. Kepala desa dan perangkatnya mendapat dukungan politisi daerah sebagai balas jasa atas dukungan politik saat pemilu. Sebagai imbalannya, politisi memastikan tim suksesnya masuk daftar penerima bantuan tanpa peduli apakah mereka benar nelayan atau petani.
Setelah proposal dibuat di desa, politisi mengambilnya untuk disodorkan ke bupati agar mendapat disposisi. Proposal itu kemudian dijadikan alat tawar untuk menekan dinas teknis.
“Yang penting tim suksesnya dapat. Urusan yang lain belakangan,” ungkap LN.
Proses ini kerap membuat penyaluran bantuan molor hingga melewati tahun anggaran, karena tarik-ulur kepentingan. Bahkan kadang sesama politisi saling sikut supaya timnya mendapat lebih dulu, sementara masyarakat lain disuruh menunggu tahun depan.
Akibatnya, bantuan yang seharusnya menjadi stimulan justru berputar di lingkaran yang sama. Nelayan asli tetap jalan sendiri, sementara penerima bantuan malah menjualnya lagi mulai dari kapal, mesin, hingga bibit pertanian.
Modusnya pun seragam. Bantuan bodi tuna dipreteli, bahkan bodi dan mesinnya dijual. Bibit dan pupuk pertanian juga dilepas ke pasar.
Lebih parahnya, saat ada kunjungan pejabat, penerima bantuan mengarahkan rombongan ke kebun atau kapal milik warga yang tidak pernah menerima bantuan, demi menutupi penyimpangan.
Temuan ini menguatkan kritik Bupati Buton Alvin Akawijaya Putra yang menilai minimnya pendampingan, monitoring, evaluasi, dan supervisi telah melahirkan “penyakit” di sektor bantuan.
Dalam acara Peluncuran Kemitraan Kepala Desa/Lurah Pesisir (Coastal 500), Rabu (6 Agustus 2025), Alvin mengaku heran karena setiap tahun selalu ada proposal bantuan bodi tuna.
“Setelah saya telusuri, ternyata bukan rusak, tapi dipreteli dan mesinnya dijual. Ini penyakit sektor perikanan kita,” tegas Alvin.
Bupati termuda di Sulawesi Tenggara itu menegaskan, membangun Buton berarti memutus rantai korupsi bantuan mulai dari meja desa hingga kantor politisi.
Tanpa perubahan sistem dan pengawasan yang tegas, bantuan akan terus menjadi komoditas politik, sementara nelayan dan petani asli tetap menjadi penonton di tanah sendiri.
Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Buton, Rasmin Rahman, menyatakan akan melakukan penelusuran lebih lanjut di lapangan, mengingat selama ini hasil monitoring pihaknya belum menemukan adanya bantuan bodi yang dijual.
Pihak dinas mengapresiasi kritik Bupati sebagai masukan untuk memperbaiki kinerja, dan menegaskan bahwa penyaluran bantuan dilakukan berdasarkan proposal kelompok masyarakat yang telah diverifikasi.
Jika ditemukan penyimpangan di luar kendali dinas, maka langkah penelusuran akan dilakukan. (Adm)