Pengukuran Tanah di Desa Wabula Satu Berpotensi Picu Konflik

Screenshot video cekcok antarwarga terkait masalah pengukuran tanah di Desa Wabula Satu, Selasa (11 Februari 2025).

SURUMBA.com – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Wabula Satu, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, berpotensi memicu konflik di tengah masyarakat. Sebagian warga mendukung program ini, sementara yang lain menolak dengan alasan bahwa tanah di Wabula merupakan tanah adat yang dimiliki secara komunal, bukan individu.

Sejak dahulu, tanah di Wabula tidak diperjualbelikan sebagai hak milik, melainkan hanya dalam bentuk penggantian tanaman seperti kelapa. Tradisi ini mengakar kuat dalam masyarakat, di mana seseorang dapat mendirikan rumah dengan izin lembaga adat tanpa perlu kepemilikan formal. Bahkan jika ada tanaman kelapa di lokasi pembangunan rumah, pemiliknya kerap mengizinkan penebangan tanpa menuntut ganti rugi karena didasarkan pada prinsip kekeluargaan dan kesadaran bahwa tanah merupakan milik bersama.

Namun, rencana sertifikasi tanah melalui program PTSL memicu keberatan dari banyak warga. Salah satu pemicu konflik adalah pemilik tanaman kelapa yang ditebang di masa lalu, kini mempertanyakan legalitas kepemilikan tanah yang hendak disertifikatkan. Mereka beranggapan bahwa keberadaan tanaman mereka di lokasi tersebut memberikan hak yang lebih kuat dibandingkan mereka yang hanya mendirikan rumah. 

Penolakan terhadap sertifikasi ini semakin menguat karena sebagian besar masyarakat tetap berpegang pada prinsip bahwa tanah di Wabula bukan kepemilikan individu, melainkan berada di bawah pengawasan lembaga adat.

Konflik terkait pengukuran tanah ini memuncak pada Selasa (11 Februari 2025 ) di Dusun Lacupea, Desa Wabula Satu. Perdebatan sengit antara warga nyaris berujung pada bentrokan fisik sebelum akhirnya dilerai oleh masyarakat setempat. Dalam insiden ini, tidak terlihat kehadiran aparat kepolisian, hanya dua personel TNI yang berada di lokasi kejadian.

Ketegangan ini diperkirakan akan terus berlanjut di berbagai titik di Desa Wabula Satu, mengingat banyak rumah yang dibangun tanpa kepemilikan formal tetapi hanya dengan persetujuan lembaga adat. 

Sejumlah warga menyesalkan keputusan pemerintah desa yang dinilai kurang mempertimbangkan dampak sosial sebelum mengundang Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan pengukuran tanah. Mereka menduga bahwa inisiatif ini lebih banyak didorong oleh pemerintah desa daripada oleh masyarakat sendiri.

Beberapa warga bahkan mencurigai bahwa sertifikasi tanah ini akan dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, termasuk sebagai jaminan pinjaman di koperasi yang salah satunya diduga terkait dengan kepala desa. Kecurigaan ini semakin memperkuat skeptisisme masyarakat, mengingat Desa Wabula Satu selama ini tidak pernah menerapkan sistem kepemilikan tanah secara individu.

Tanggapan Kepala Desa Wabula Satu

Menanggapi polemik ini, Kepala Desa Wabula Satu, La Budi Nuha, S.Pd., menegaskan bahwa pemerintah desa hanya memfasilitasi warga yang tanahnya tidak bermasalah. Ia menolak tuduhan bahwa pihaknya memaksakan sertifikasi tanah kepada masyarakat.

“Sepanjang ada permasalahan, kami tidak akan melayani. Artinya, tidak ada paksaan. Hanya yang tidak bermasalah yang bisa mengajukan permohonan sertifikasi,” ujar La Budi Nuha saat ditemui di kediamannya.

Ia mengaku, pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menentukan status sengketa tanah antarwarga. Oleh karena itu, pihaknya menyarankan agar masyarakat menyelesaikan persoalan batas tanah secara kekeluargaan sebelum mengajukan permohonan sertifikat.

“Selesaikan dulu baik-baik, bicarakan secara kekeluargaan. Jika sudah tidak ada masalah, baru kami layani untuk sertifikasi,” tambahnya.

Saat ini, lebih 200 bidang tanah telah didaftarkan untuk sertifikasi, tetapi jumlah ini kemungkinan akan berkurang karena masih banyak lahan yang bermasalah. La Budi menegaskan pengukuran hanya akan dilakukan pada lahan yang sudah jelas batas-batasnya dan tidak dalam sengketa.

“Saat pendaftaran, warga menyatakan tanahnya tidak bermasalah. Namun, setelah dicek di lapangan, ada yang ternyata masih abu-abu. Jika demikian, kami tidak akan mengakomodir,” tegasnya.

Harapan Masyarakat

Masyarakat berharap ada mediasi antara pemerintah desa, lembaga adat, dan pihak terkait untuk mencari solusi terbaik guna menghindari konflik berkepanjangan. Tanpa pendekatan yang tepat, program sertifikasi tanah ini justru dapat mengancam harmoni sosial yang selama ini terjaga di Wabula.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan dari pihak Polsek Wabula. Kapolsek tidak berada di kantor karena sedang melaksanakan tugas pelatihan di Polda Sultra. Namun, menurut pengakuan salah satu anggota kepolisian, pihaknya tetap melakukan monitoring terhadap kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di Desa Wabula Satu. (Adm)

Bagikan:

ARTIKEL TERKAIT

POPULER

Bupati Buton Sambut Kunjungan Tim BPK RI Sultra, Tegaskan Komitmen Transparansi Keuangan Daerah Adm 17-04-2025 | 12:02PM