SURUMBA.com – Pemerintah Kabupaten Buton menghentikan sementara proses pengukuran tanah dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Wabula Satu, Kecamatan Wabula. Keputusan ini diambil menyusul meningkatnya penolakan dari masyarakat adat setempat.
Asisten I Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Buton, Alimani, S.Sos., M.Si., menegaskan bahwa penghentian ini dilakukan guna meredam ketegangan dan membuka ruang dialog lebih lanjut antara semua pihak terkait.
Dalam wawancara via telepon, Alimani membantah tudingan bahwa pemerintah daerah berpihak kepada kelompok tertentu dalam polemik ini.
“Apa yang kami lakukan, baik dari Pemda maupun pertanahan, sudah sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku. Tidak ada keberpihakan. Namun, kami melihat bahwa respons masyarakat cukup kuat, sehingga perlu ada dialog lebih lanjut agar tidak terjadi kesalahpahaman,” ujar Alimani.
Ia menjelaskan, kedatangannya ke Wabula Satu atas undangan kepala desa untuk meninjau proses pengukuran tanah. Namun, kehadirannya justru memicu spekulasi di kalangan warga.
“Setelah melihat situasi di lapangan, saya menilai perlu ada komunikasi lebih lanjut. Semua pihak harus duduk bersama agar tidak ada kesalahpahaman atau rasa saling curiga,” ucapnya.
Alimani menegaskan bahwa pemerintah daerah akan terus berupaya mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan polemik ini.
“Kami akan berkomunikasi kembali dengan kepala desa dan pihak pertanahan agar solusi terbaik bisa ditemukan. Dialog harus terus berlanjut dengan melibatkan semua pihak, termasuk tokoh adat dan masyarakat,” katanya.
Aksi Penolakan dan Kekhawatiran Masyarakat
Penolakan terhadap pengukuran tanah di Desa Wabula Satu semakin memanas. Pada Senin (17 Februari 2025), ratusan warga berkumpul di pintu masuk Desa Wabula, dekat Kantor Polsek Wabula, untuk menolak proses pengukuran yang akan dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Buton.
Aksi ini merupakan aksi kedua setelah sebelumnya, pada Selasa (11 Februari 2025), sekelompok warga mendatangi rumah kepala desa dan meminta petugas pertanahan menghentikan pengukuran.
Masyarakat adat Wabula menegaskan bahwa tanah di wilayah tersebut merupakan milik bersama yang tidak dapat diperjualbelikan. Mereka khawatir pengukuran ini akan menjadi dasar penerbitan sertifikat hak milik individu yang berpotensi menggerus eksistensi tanah adat.
Pemerintah Desa: Sertifikasi Sesuai Aspirasi Masyarakat
Sebelumnya, Kepala Desa Wabula Satu, La Budi Nuha, S.Pd., menyatakan proses sertifikasi tanah melalui PTSL dilakukan atas permintaan masyarakat yang ingin memperoleh kepastian hukum atas lahan mereka.
“Sepanjang ada permasalahan, kami tidak akan melayani. Artinya, tidak ada paksaan. Hanya yang tidak bermasalah yang bisa mengajukan permohonan sertifikasi,” ujar La Budi Nuha saat ditemui di kediamannya.
Ia menegaskan, pemerintah desa tidak memiliki kewenangan untuk menentukan status sengketa tanah antarwarga. Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat agar menyelesaikan perbedaan pendapat terkait batas tanah secara kekeluargaan sebelum mengajukan permohonan sertifikat.
Saat ini, lebih dari 200 bidang tanah telah didaftarkan untuk sertifikasi. Namun, jumlah tersebut kemungkinan akan berkurang karena masih banyak lahan yang berada dalam sengketa.
Masyarakat Adat Kukuh Menolak
Di sisi lain, masyarakat adat Wabula tetap menolak penerbitan sertifikat hak milik dan mengusulkan agar tanah yang disengketakan diberikan status sertifikat hak pakai, sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
Mereka berpendapat bahwa tanah adat adalah warisan leluhur yang harus dijaga dan tidak boleh dialihkan kepemilikannya secara individu melalui sertifikasi.
“Sertifikasi hak milik akan mengubah status tanah adat menjadi milik pribadi. Ini berpotensi merusak tatanan adat yang telah berlaku turun-temurun,” ujar salah satu tokoh adat.
Hingga saat ini, belum ada kesepakatan final antara pihak-pihak yang berselisih. Masyarakat berharap pemerintah daerah dapat bersikap bijak dalam menangani konflik agar tidak memperburuk situasi. (Adm)