SURUMBA.com - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Buton, Sulawesi Tenggara, menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dinas Pendidikan terkait program beasiswa Buton Cerdas di Kantor DPRD Buton, Selasa 21 Juli 2020.
Dalam RDP ini, Dewan menyebut Dinas Pendidikan telah melakukan keteledoran atas proses jalannya beasiswa sejak tahun 2018. Olehnya, direkomendasikan kepada Bupati Buton agar mengevaluasi Kepala Dinas Pendidikan berserta jajarannya.
Sebelum adanya kata teledor dan rekomendasi evaluasi, Kepala Dinas Pendidikan, Harmin, memaparkan latar belakang dan regulasi yang dipakai dalam beasiswa Buton Cerdas berawal dari adanya program sekolah kepariwisataan di Batam yang diprakarsai Dinas Pariwisata tahun 2018. Ketika itu dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Buton masih kekurangan dokter spesialis, maka diusulkan untuk di includekan dengan pembiayaan dokter spesialis satu orang dan dokter umum satu orang.
Lanjut tahun 2019, ditingkatkan lagi dengan dokter spesialis satu orang dan dokter umum tiga orang. Sehingga totalnya dalam dua tahun menjadi dua dokter spesialis dan empat dokter umum.
Kemudian masuk tahun 2020, diadakan lagi program beasiswa untuk mahasiswa umum. Namun hal ini belum sempat berjalan karena regulasinya masih dalam penggodokan.
"Tahun 2020 ini kita sengaja belum umumkan kerena berdasarkan usulan dari BPK harus dibuatkan landasan hukumnya berupa Peraturan Bupati (Perbup). Peraturan Bupati itu sekarang masih di Bagian Hukum yang Insya Allah dalam waktu dekat sudah selesai. Sebab selama ini mungkin persoalan Covid sehingga mereka mau ke Kendari (untuk konsultasikan Perbup) tertunda. Tapi Alhamdulillah mereka di Bagian Hukum sudah komunikasi ke provinsi dan Insya Allah kalau itu sudah kami dapatkan maka payung hukum ini kami akan umumkan karena di dalam Peraturan Bupati itu semua syarat-syarat mengenai mahasiswa jurusan umum ini ada di dalamnya," jelas Harmin.
Pemaparan Kepala Dinas Pendidikan ini kemudian dikancing Wakil Ketua DPRD Buton, La Ode Rafiun. Pertanyaannya, bagaimana dengan beasiswa yang sudah berjalan di tahun 2018 dan 2019? Sebab sepemahaman dia, semua pengeluaran yang bersumber dari APBD wajib memiliki Perbup.
"Kalaupun adanya seperti itu, seperti yang dijelaskan Dinas PK (Pendidikan) tadi, maka saya bisa menarik inti sari bahwa program beasiswa ini ada yang diperuntukan untuk kedokteran dengan diperuntukan untuk umum. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah berbeda tentang proses beasiswa umum dengan beasiswa kedokteran itu? Karena dijurusan umum baru dibuatkan payung hukumnya sementara di kedokteran ini telah berjalan tanpa ada payung hukumnya," tanya Rafiun.
Oleh Harmin kemudian menjawabnya bahwa tidak ada perbedaan perlakuan antara beasiswa kedokteran dan mahasiswa umum. Hanya saja, apa yang telah terjadi kondisnya sangat mendesak. Sehingga untuk mencairkan dana beasiswa kedokteran pihaknya menggunakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 95 Tahun 2013 tentang Beasiswa Unggulan dan Prestasi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan di Daerah.
"Perlakuan ini sebenarnya tidak berbeda. Hanya pada saat itu kondisinya sangat mendesak karena kita kekurangan tenaga kesehatan dalam hal dokter spesialis dan kedokteran umum. Sehingga pada saat karena Peraturan Daerahnya, Peraturan Bupatinya belum ada, kami menggunakan peraturan yang lain. Yang pertama Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 95 Tahun 2013 tentang Beasiswa Unggulan dan Prestasi. Kemudian ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan di Daerah tentang Beasiswa Prestasi dan Beasiswa Tidak Mampu. Jadi dasar inilah yang kami jadikan karena Peraturan Bupati belum ada sehingga kami bertolak dari sini," jelasnya.
Penjelasan ini dimentahkan lagi oleh Rafiun. Dia memaparkan, peraturan lebih tinggi yang digunakan Dinas Pendidikan tidak dapat dijadikan dasar hukum pencairan beasiswa. Sebab, peraturan tersebut mengatur Indonesia secara umum bukan secara spesifik di daerah. Sehingga peraturan dimaksud harusnya dijabarkan dalam bentuk Perbup karena sumber pembiayaannya dari APBD.
"Apakah dalam pedoman yang dipakai itu, dalam aitem aitem pasalnya tidak menjelaskan bahwa ketentuan ini kemudian dapat diatur atau dijabarkan dengan Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Bupati? Tapi disinilah keteledoran kita. Mengapa, karena penjelasan dari Pak Kadis tadi bahwa antara kedokteran dan umum tidak ada perbedaannya sehingga mendasarkannya pada peraturan pemerintah sementara peraturan pemerintah itu mengatur secara umum Republik Indonesia ini. Sementara yang kita spesifikan adalah penggunaan APBD Buton di tahun 2018, 2019, dan 2020. Tapi disinilah ketelodoran kita. Tidak ada kehati-hatian kita sehingga memunculkan hal-hal yang kita tidak inginkan," ucapnya.
"Jadi walaupun kita kupas seperti apa, pimpinan sudah bisa menarik inti sarinya bahwa tidak ada kehati-hatian kita di sini. Mengapa, kerena belum ada payung hukumnya berupa Perbup sudah (berani mencairkan beasiswa) dengan menggunakan peraturan pemerintah yang lebih tinggi. Sementara ini adalah kabupaten bukan beasiswa Indonesia," sambung Rafiun.
Disamping itu, Rafiun juga mencerca bahwa bila tak ada perbedaan antara pencairan beasiswa kedokteran dan umum, kenapa beasiswa umum tahun 2020 tidak menggunakan lagi perturan yang lebih tinggi sebagaimana penjelasan Dinas Pendidikan? "Tapi terlepas dari itu, ini juga mungkin perlu menjadi catatan kita ke depan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terkait dengan permasalahan beasiswa," ucapnya dengan bijak.
Hingga dengan RDP berakhir, penjelasan dari Dinas Pendidikan hanya berupa alibi. Setiap yang jawaban yang dilontarkan tidak sesuai dengan pertanyaan.
Olehnya, kesimpulan terakhir DPRD Buton dalam RDP adalah merekomendasikan kepada Bupati Buton untuk mengevaluasi Kepala Dinas Pendidikan beserta jajarannya agar di kemudian hari pemberian program-program dalam meningkatkan mutu pendidikan dapat tercapai dengan baik. (man)